Breaking News

Sang Proklamator

Dilla, S.Pd. Pemerhati Pendidikan dan Anak

            Namaku Athar, diambil dari bahasa arab yang artinya ‘harum’. Harapan orang tua tentu agar namaku sesuai dengan artinya, dikenang dan harum sepanjang masa. Kelahiranku  berada di bawah bayang-bayang bangsa kolonial Belanda. Oleh karena itulah aku dididik hidup disiplin apalagi dalam ilmu agama, karena kakekku dari pihak ayah adalah seorang ulama terkenal di Minangkabau. Beliau bernama Abdurrahman Batuhampar seorang ulama tarekat yang terkenal di Batuhampar. Sementara Ibuku adalah keturunan pedagang di Bukittinggi, mamak, ‘pamanku’ dari pihak ibu juga banyak yang menjadi pedagang besar di Jakarta.

            Aku dilahirkan di sebuah rumah kayu bertingkat dua dan beratap seng, menghadap ke arah matahari terbit, ketika membuka jendela tampak dua buah gunung tinggi menjulang  yakninya Gunung Merapi dan Singgalang. Rumahku berdiri di atas tanah dengan luas 800 meter persegi. Di sebelah kiri rumah dibangun kandang kuda, dan di depan rumah terdapat sebuah tebat ikan, kepunyaan Gaek ‘kakekku’. Beliau memelihara ikan kaluih sejenis gurami yang sangat berguna bagi masa depanku.

            Kata kakek ketika itu, “Ikan di tebat ini kadang aku kirim kepada kapten Belanda yang sedang berkuasa di daerah kita, dan ketika idul fitri, mereka juga mengirimkan cerutu Belanda yang tersohor itu kepadaku. Berkat ikan di tebat ini jualah kau Athar, bisa mudah sekolah ke Belanda” ujar kakek ketika bercerita denganku. Yah…, aku dibesarkan dan tinggal bersama Gaek, karena di umur 8 bulan ayah pergi meninggalkanku selamanya. Kata ibu, aku mirip sekali dengan ayah, entah iya atau tidak sungguh aku tidak tahu.

            Kehidupan masa kecilku banyak kuhabiskan di mesjid, karena Gaek adalah seorang yang sangat religius. Ketika masih kecil, aku diserahkan kepada seorang ulama hebat di Bukittinggi.  Aku mengawali pendidikan agama di sekitar kampung di surau Syekh Muhammad Djamil Djambek. Beliau merupakan seorang ulama besar dan terkenal sampai ke luar daerah. Di tangan Beliaulah aku mengenal ajaran Islam dan mengaji Alquran sampai tamat dengan dibantu oleh murid-murid lainnya yang sudah lebih dulu khatam Al Quran.

            Ketika itu aku masih kecil, sewaktu asik bermain, kami melihat banyak orang, tua muda, laki-laki perempuan memanggul senjata dan bambu runcing. Ternyata telah terjadi peristiwa yang saat itu dikenal dengan Perang Kamang. Perang yang melibatkan kaum laki-laki dan perempuan ini menggunakan berbagai macam senjata tajam. Banyak rakyat sipil yang menjadi korban, hampir 100 orang tertembak oleh tentara Belanda. Pihak lawan pun juga berjatuhan, banyak korban luka-luka, karena rakyat menyerbu markas Belanda di malam hari. Semangat rakyat demi membela harga diri dan tanah kelahirannya sangat menggebu saat itu. Dengan menyorakkan semboyan “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai.” Para pejuang perang mengangkat senjata menentang kebijakna sepihak yang dibuat oleh Belanda. Kata Gaek, kaum Kolonial seenaknya saja mengenakan pajak pada setiap hasil tani rakyat, karena itulah, semua mengangkat senjata demi menolak aturan sepihak yang dibuat oleh Belanda.

            Aku menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock, dan melanjutkan ke ELS (Europeesche Lagere School) di Padang. Dengan kegemaran membaca sejak kecil,  aku bisa  lulus ujian masuk HBS di Batavia, namun harapan tidak sesuai dengan kenyataan, aku harus mengurungkan niatku, karena permintaan ibu agar tetap sekolah di Padang. Akhirnya aku melanjutkan sekolah di MULO.

            Banyak organisasi yang kuikuti saat itu, salah satunya adalah Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Aku semakin suka dengan politik, semangat juangku untuk bangsa sangat menggebu, apa lagi setelah sering bertemu dan hadir dalam pertemuan-pertemuan politik. Tokoh idolaku saat itu dalam bidang politik adalah Abdul Muis.

            Selain gemar membaca, keseharianku saat sekolah di Padang adalah bermain sepak bola.  Aku berada pada posisi gelandang tengah, banyak lawan yang kesulitan ketika melaluiku. Selain itu aku juga pernah bergabung dengan klub sepak bola Padang yang bernama Young Fellow, sebuah klub kebanggaan masyarakat Padang ketika itu. Banyak pertandingan yang kami menangkan dan membawa hasil juara. Sangat indah masa-masa itu ketika kukenang.

            Beranjak remaja, kesadaran politikku mulai tumbuh. Banyaknya bahan bacaan yang telah kulahap dan sering berdiskusi dengan tokoh politik, menjadikan semangat juangku untuk merebut kemerdekaan ini menjadi menggebu. Jiwa idealisku sebagai seorang pelajar dan pemuda yang negaranya dijajah semakin membakar semangatku dalam menyampaikan kritikan dan gagasan untuk merebut kemerdekaan. Aku dengan intens mempelajari dan berdiskusi tentang perpolitikan di negara ini, ditambah lagi dengan keadaan yang kuamati dan lihat sendiri. Kami dijajah, dikuasai oleh negara asing yang bertindak semena-mena kepada rakyat ini. Semangat juangku untuk berbuat demi bangsa ini tiada terbendung. Sampai kuniatkan di dalam hati aku tidak akan menikah sebelum negara ini merdeka. Ternyata doakau diijabah oleh Allah SWT, memang aku menikah di umur kepala empat setelah negara ini merdeka.

         Ketika itu, aku dibimbing langsung oleh Haji Abdullah Ahmad, dengan sering mengikutinya ketika memberi ceramah dan pertemuan-pertemuan politik yang diadakan oleh tokoh politik lokal di kota Padang. Banyak padangan-pandangan tokoh yang kubaca dan aku berusaha mencari format ideal yang bisa kuterapkan pada bangsaku. Sangat banyak ide yang bersarang dalam kepalaku, hatiku menggebu dan terus mencari cara bagaimana caranya menjadikan bangsa ini menjadi sebuah masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

            Semua yang bersarang di kepala ini, semua gagasan yang berkeliaran liar di dalam benak ini, mulai aku tuliskan dalam sebuah cerpen. Aku mulai menulis sebuah karya sastra berupa cerpen pada umurku menginjak 18 tahun. Aku masih ingat media pertama yang menerbitkan cerpen itu adalah majalah Jong Sumatra, dengan judul Namaku Hindania. Cerita yang mengisahakn tentang negaraku, yang disebut oleh Belanda sebagai Hindia. Kisah ini kugubah menjadi sebuah personifikasi tentang keadaan bangsa ini. Masih lekat diingatanku menulis cerpen ini ketika akan berangkat ke Belanda untuk melanjutkan kuliah. Aku mendapatkan beasiswa dari yayasan Van Deventer dan resmi menjadi mahasiswa sekolah tinggi Bisnis Roterdam. Alhamdulillah kemampuanku dalam berbahasa Belanda, Inggris, Prancis dan Jerman sangat membantu dalam mendapatkan beasiswa dan sekolah di Belanda ketika itu. Berkat kemampuan berbahasa itu jugalah aku bebas menyampaikan gagasan melalui tulisan ke berbagai negara.

            Sejak menjadi mahasiswa di Belanda, kemampuanku semakin terasah. Aku ikuti semua organisasi kemahasiswaan yang ada di negara ini. Ketika itu, aku mengubah wajah perhimpunan mahasiswa Hindia yang bernama Indische Vereeniging, yang semula hanya bersifat sosial, menjadi sebuah gerakan politik perlawanan. Melalui perhimpunan mahasiswa juga aku dan teman-teman menerbitkan sebuah majalah bernama Indonesia Merdeka. Sebuah nama yang provokatif di kala itu, karena pada awalnya majalah tersebut bernama Hindia Poetra, aku menulis dua buah tulisan yang berbahasa Belanda ketika itu. Sejak itu aku semakin berani menuliskan kritikanku terhadap Belanda, dan sejak saat itu pula lah setiap gerak langkahku sering dimata-matai oleh pihak Belanda.  Di tahun yang sama yaitu 1927 aku ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan.

            Bukannya berhenti aku malah bertambah semangat dalam menulis, walaupun di dalam penjara aku terus menulis, bukan lagi artikel namun sebuah pidato yang kuberi judul  Indonesia Merdeka. Lebih kurang tiga setengah jam kubacakan pidato yang berisi krtitikan yang tajam menusuk kekuasaan bangsa kolonial. Aku memilih berjuang melalui tulisan, bukan melalui kekerasan seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Menurutku senjata api manapun akan terkalahakan dengan tajamnya ujung pena melalui tulisan yang kusampaikan. 

            Waktu terus berjalan, sesampai di Indonesia, ketika sore itu aku dipertemukan dengan seorang pejuang kemerdekaan juga yang bernama Syahrir. Karena memiliki pemikiran  yang sama kami berdua membentuk sebuah partai politik dengan focus pada aspek pendidikan politik serta pemberdayaan rakyat terjajah. Partai itu kami beri nama Pendidikan Nasional Indonesia. Sejak saat itu tulisanku semakin merajalela di semua media yang saat itu, kembali langkahku dijegal oleh Belanda. Ketika itu aku menulis di majalah Daulat Ra’jat media terbitan partai yang aku buat dengan Syahrir. Secara tiba-tiba Belanda menghentikan dan kami ditangkap lagi dan diasingkan ke wilayah pembuangan bernama Boven Digul, yang terletak di Irian, bagian paling timur Indonesia.

            Aku menyadari kalau pembuanganku kali ini tidak sebentar, sementara semangat juangku masih terus menggebu, lalu kubawa 16 peti buku ke tempat pengasingan. Sangat dramatis ketika Belanda memaksa aku ikut dan aku bersikeras harus membawa buku-buku itu ke pengasingan. Jika tidak diizinkan maka aku tidak akan ikut. Dengan terpaksa tentara Belanda itu menmgizinkanku membawa buku tersebut. Penjaralah aku dengan buku ujarku ketika itu. Di pengasingan itu aku terus menulis dan menyampaikan gagasan dan pemikiran tentang bangsa ini. Lalu ku kirim ke Koran-koran di Batavia dan juga Den Hag Belanda. Aku yakin dengan tulisan inilah aku bisa berjuang dan melawan kaum kolonial. Banyak para pemuda yang tergerak dan muncul semangatnya untuk melakukan perlawan dan memperjuangkan kemerdekaan.

            Setelah bebas dari pengasingan, aku kembali aktif dalam pergerakan untuk meraih kemerdekaan bangsa. Dengan Sukarno sahabatku, kami merumuskan teks proklamasi kemerdekaan didampingi juga oleh Ahmad Soebarjo. Ketika kami bingung mau memulai kalimat pertama teks proklamasi dengan apa, sebuah ide muncul di kepala. Sebagai sahabat kental yang sama-sama berjuang, Sukarno tidak mau membacakan teks proklamasi tanpa kehadiranku, yang waktu itu telat lima menit hadir dalam upacara tersebut.

            Bersama Sukarno aku menjadi wakil presiden pertama Indonesia, walaupun aku memilih berhenti setelah beberapa tahun menemani Sukarno. Karena perbedaan visi dan misi dengannya. Namun walapun pemikiran kami berbeda, aku tahu kalau di hati kami tidak ada dendam dan kami saling menyayangi. Buktinya sukarno tidak mencari penggantiku sampai beliau wafat. Sebelum wafat, aku sempatkan membezuk Beliau yang sedang sakit. Kami saling berpelukan dan air mata kami tak terbendung dan teringat semua perjuangan yang telah kami lakukan. Aku tahu dia sahabatku, dia menyesali semua yang telah dilakukannya, dia meminta maaf dan akupun demikian. Saling bermaafan dan berpelukan erat dalam persaudaraan. Ternayat itu adalah hari terakhir pertemuanku dengannya sahabat sekaligus saudara bagiku, karena dua hari setelah pertemuanku, beliau wafat mengahadap sang Ilahi Robbi.

            Setelah proklamasi kemerdekaan, ternayat negara ini juga tidak diakuai kedaulatannya, apalah lagi oleh Belanda. Dengan semangat juang yang masih menggebu aku datang menghadiri Konferensi Meja Bundar sebagai wakil dari negara yang baru saja kami proklamirkan kemerdekaannya. Ketika itu Belanda masih berupaya merebut Indonesia melalui agresi militer hingga perjanjian internasional berikutnya. Namun melalui lobi tekad, dan kemampuan berkomunikasi aku berhasil mendesak Belanda dan mengambil simpatik dunia sampai akhirnya negara inipun mendapatkan pengakuan dari Belanda dan dunia.

            Namaku Athar, artinya adalah harum. Semoga nama ini sesuai dengan artinya. Harum sepanjang Negara Indonesia ini masih ada. aku ingin semangat dalam memperjuangkan Negara ini bisa menjadi teladan bagi generasiku berikutnya. Walaupun nyawa tidak dikandung badan. Muhammad Hatta akhirnya ku lekatkan di nama pemberian ayah dan ibukku, karena tidak bisa menyebut Athar. Semoga dengan kisahaku ini bisa menjadi sebuah kisah yang menceritakan bahwa aku pernah ada dan pernah berjuang untuk Negara ini.

Tidak ada komentar