Langit Desember perlahan berubah warna, angin senja membawa bisikan kenangan dari 365 hari yang hampir habis kulalui. Hari-hari itu tidak sekadar dijalani, tetapi diciptakan, diperjuangkan, dan kuhidupkan sepenuh hati. Ini bukan hanya tentang kalender yang terus bergerak, melainkan sebuah epos pribadi kisah seorang Dilla, S.Pd. yang masih kuat berdiri, masih diberi kesempatan untuk terus berbuat, dan terus melangkah hingga sampai di titik ini. Terkadang, bertahan saja sudah merupakan bentuk kemenangan.
Tahun ini menjadi panggung untuk mengekspresikan diri sebagai ibu, guru, penulis, penggerak, sekaligus penyuluh jiwa. Menjadikannya ladang untuk menanam kebaikan dan mengubah proses menjadi karya yang kelak menetap sebagai jejak. Sebuah ikhtiar membangun legacy: bahwa diri ini pernah hadir, pernah berbuat, dan pernah bermakna bagi negeri. Di tahun ini pula, seolah hadir hadiah-hadiah sunyi dari Sang Maha Kuasa hadiah yang tidak selalu berwujud gemerlap, tetapi menguatkan batin. Apa yang tumbuh dalam diam sering kali paling bertahan lama.
Setelah tahun lalu aku berjibaku dengan segala kekuatan untuk mengolah hati, belajar ikhlas melepas putra-putraku menempuh jalan ilmu. Melepas mereka menjadi pribadi-pribadi mandiri di tempat mereka menimba pengetahuan. Bahkan hingga merelakan si sulung menjejak tanah para nabi, dan dua putraku lainnya menimba ilmu di pondok pesantren. Seolah Allah berbisik lirih bahwa semua ini adalah hadiah atas kesabaran dan keikhlasan yang kujalani. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Dari sanalah aku kembali merawat kata dan menumbuhkan jiwa, karena tahun ini bukan lagi tahun yang riuh oleh sorak-sorai kemenangan instan, melainkan tahun ketekunan—menjalani hidup sesuai alur yang telah digariskan Pemilik takdir. Tidak semua anugerah datang dengan sorak, sebagian hadir dalam bentuk ketenangan.
Tahun ini menguatkan langkahku untuk menjalani peran dengan penuh kesadaran. Jika hidup adalah kaleidoskop, maka 2025 menghadirkan serpihan warna yang tidak selalu sama. Ada terang, ada redup, ada juga kelabu. Namun dari situlah kata-kata kurangkai dengan setia di jalan yang sunyi. Aku kembali menegaskan satu identitas yang kini mulai percaya diri kusematkan setelah namaku: penulis. Bukan penulis yang mengejar sensasi, melainkan penulis yang berusaha merawat kata agar tetap bernilai. Menulis bukan tentang siapa yang paling lantang, tetapi siapa yang paling jujur.
Rasa syukurku bertambah melalui berbagai undangan sebagai narasumber di beragam media. Dari media cetak dan daring hingga media elektronik: seluruh stasiun RRI Bukittinggi Pro 2, Pro 3, Pro 4, hingga Podcast RRI bahkan dipercaya menjadi narasumber tetap di salah satu program Pro 4. Perjalanan itu berlanjut ke TVRI Sumbar dan sejumlah podcast yang membahas dunia kepenulisan dan literasi. Namun yang paling kusyukuri bukanlah sorotan itu, melainkan keberanian untuk hadir apa adanya. Aku datang bukan membawa deretan pencapaian, melainkan cerita. Dan ternyata, cerita itu didengar. Dari sini aku belajar bahwa validasi bukanlah tujuan; ia hanyalah bonus dari niat dan konsistensi untuk berbagi. Ketulusan selalu menemukan jalannya sendiri.
Sepanjang tahun ini, berbagai karya terus kurangkai. Esai budaya dan bahasa, artikel parenting dan pendidikan karakter, puisi reflektif tentang bencana dan spiritualitas, hingga cerpen dengan konflik kemanusiaan terus kucoba tulis. Meski aku masih sering merasa kurang produktif—terjebak kemalasan dan alasan klasik bernama “sibuk”—hingga hanya sebagian karya yang singgah di media. Namun aku tetap memacu diri mengikuti berbagai ajang kepenulisan, sebagai pengakuan jujur bahwa aku ingin menjadi penulis. Jalannya ternyata tidak mudah. Ada tulisan yang masuk nominasi, ada yang mendapat penghargaan, dan tak sedikit pula yang ditolak. Penolakan bukan akhir, ia sering menjadi ruang belajar paling jujur.
Ada kalanya semua itu membuat hati ingin menyerah. Rasa malu pun hadir saat melihat teman-teman berpacu menghasilkan karya, sementara aku hanya mengintip dari sudut riuh grup yang gegap gempita. Namun setiap kali berada di titik rendah, membaca diskusi-diskusi literasi di ruang digital justru menumbuhkan kembali semangat. Aku bangkit untuk terus belajar, dan terus belajar. Aku memaksa diri membuka laptop, karena bagiku menulis bukan semata tentang selesai, melainkan tentang kejujuran. Sebelum menulis untuk media atau lomba, aku selalu singgah di file buku harian, menumpahkan segala rasa—dan di sanalah aku pulang. Tulisan yang lahir dari hati akan selalu menemukan hatinya sendiri.
Di tahun ini pula, aku menjalani peran sebagai guru yang tidak hanya mengajar, tetapi menyalakan semangat. Sebagai guru Bahasa Indonesia, 2025 menjadi tahun penguatan peran. Aku tidak sekadar menyampaikan materi, melainkan berusaha menghidupkan nilai. Karakter kutanamkan melalui bahasa, dengan mengajak siswa aktif berkarya. Teks kuhubungkan dengan kehidupan nyata hingga lahir buku-buku kecil tentang orang-orang tercinta. Nilai religius kuselipkan dengan lembut agar menyentuh hati mereka. Di luar kelas, aku membimbing siswa menyusun majalah digital sekolah hingga terbit, serta mengajak mereka bertemu tokoh publik di kota kami untuk melatih keberanian dan keterampilan berbicara di ruang publik. Mendidik adalah menyalakan cahaya, bukan sekadar memindahkan pengetahuan.
Sebagai perempuan, ibu, dan istri, peran ganda terus kujalani dengan cinta. Menjadi istri yang berjalan bersama suami dalam kondisi naik dan turun, ibu dari empat anak yang tumbuh menuju remaja dan dewasa. Menjadi pendidik di rumah dan sekolah, sekaligus perempuan yang terus bermimpi meski realitas sering kali tidak kompromi. Kini tak selalu ada perayaan, tak selalu ada kelapangan finansial, tetapi doa, ketabahan, dan cinta bekerja diam-diam dengan caranya sendiri. Lelah kerap singgah, namun selalu kutanamkan dalam hati: lelah boleh, menyerah jangan. Kekuatan perempuan sering lahir dari doa-doa yang tak terdengar.
Satu benang merah kuat yang belum terwujud di tahun ini adalah merampungkan buku tunggal yang telah lama kumulai. Niat menulis buku motivasi religius Langkah Kecil, Keajaiban Besar bukan sekadar proyek, melainkan pelita kecil bagi banyak orang. Insyaallah akan kurampungkan di tahun depan. Tahun ini mengajarkanku bahwa pengalaman hidup adalah kurikulum paling jujur, dan tulisan yang lahir dari pengalaman akan menemukan pembacanya. Aku juga belajar bahwa rendah hati dan konsistensi adalah jalan menuju puncak terbaik kehidupan, meski tidak semua rencana berjalan mulus. Ada yang tertunda, ada yang dilepas, dan ada pula yang tercapai melebihi ekspektasi. Tidak semua yang tertunda berarti gagal; sebagian sedang disiapkan.
Tahun ini aku belajar bahwa proses lebih jujur daripada hasil. Keberkahan sering datang diam-diam ketika kita ikhlas bergerak. Aku mungkin tak selalu terlihat, tetapi aku bertumbuh. Aku belajar menjaga hati dari kata-kata yang melukai, termasuk komentar julid yang datang seiring pencapaian. Semua kubiarkan berlalu, tanpa perlu pembuktian. Jika ada yang merasa tidak nyaman, biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhan. Aku memilih menjaga hati yang telah kurawat agar tetap damai dan bahagia. Ketenangan adalah bentuk keberhasilan yang sering luput dirayakan.
Jika harus dirangkum dalam satu kalimat, maka tahun ini adalah tentang bertahan, berkarya, dan setia pada cahaya kecil yang kutitipkan melalui kata-kata. Resolusiku di tahun depan adalah menuntaskan apa yang selama ini kurawat, lebih berani menyuarakan nilai, terus menulis dengan rendah hati dan kejujuran, menjaga kesehatan jiwa dan raga, meningkatkan ibadah, serta menjadi guru dan ibu yang dirindu yang hadir sepenuh hati di setiap waktu. Karena hidup yang baik bukan tentang seberapa tinggi melangkah, tetapi seberapa tulus kita menjalaninya.
Langkah Kecil dalam Proses yang Menguatkan Akhir Tahun 2025
Reviewed by Dilla, S.Pd.
on
Desember 20, 2025
Rating: 5
Tidak ada komentar