Breaking News

Rayuan Bukit Kemilau





RAYUAN BUKIT KEMILAU

Namaku Rahmat, biasanya dipanggil Amaik oleh Amak dan orang-orang dikampungku. Aku berasal dari Nagari Lasi, sebuah desa kecil di kaki gunung Merapi yang tidak terlihat di peta. Walaupun demikian aku sangat mencintai tempat kelahiranku. Karena di sanalah aku mulai mengenal dunia. Tahu dengan semua penduduk kampung yang selalu hidup seia sekata, saling membantu dan tahu penderitaan sesama.  Nagari kecil yang subur, yang selalu kurindu dan  aku tinggali dengan Amak, panggilan sayangku pada sang ibunda. Kami hanya tinggal berdua sejak ditinggalakan Abak ke alam baka, beliau perpulang  ketika aku berumur delapan tahun. Abak ditimpa oleh longsor Gunung Merapi, dekat dengan parak  sepetak sumber kehidupan kami.
Amak adalah sosok yang sangat menyayangiku, dia  rela melakukan apapun untuk memenuhi segala kebutuhanku, Amak sangat telaten, suka memasak sambalado tanak kesukaanku. Suka membuat pangek bada yang sering aku tangkap di aliran sungai kampungku. Kedua jenis makanan itu adalah kesukaan ku dan Abak ketika hidup. Ketika aku makan dengan lahapnya amak selalu mematut dan memandangku dengan mata berkaca-kaca dan senyuman bahagia di wajahnya, dalam gumamamnya ku dengar,
Waang miriip bana samo Abak Ang Maik, caro makan Angg, gaya mangunyah Angg, taraso lai Abak Waang di muko Amak kini ko.” Ujar amak ketika aku makan dengan lahapnya.
Melihat tatapan Amak, biasanya aku akan semakin lahap dan semangat makan masakan Amak.
“Amak tidak makan?” kataku dengan mulut penuh berisi nasi.
“Makanlah Nak, Mancaliak Ang makan si, lah kanyang paruik Amak.” Kata Amak.
Rasanya baru kemarin kebiasaanku makan malam dengan Amak. Walaupun berdua saja, kami tidak pernah merasa kesepian, karena Amak punya segudang cerita yang selalu ada untukku. Selalu ada tawa dan canda dalam setiap cerita yang disampaikan. Ada nilai-nilai yang tak pernah lupa Beliau selipkan, selalu ada nasehat di setiap akhir ceritanya. Terutama tentang agam dan adat Minangkabau. Aku sangat menikmati cerita Amak ketika itu. Tidak sabar menunggu setiap malam tiba, karena Amak akan bercerita tentang dunia, persahabatan, persaudaraan, binatang, tumbuhan, sahabat nabi, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan apa saja yang dilihat, bisa saja menjadi sebuah cerita bagi Amak.  Apa saja yang aku tanyakan Amak akan menyampaikannya menjadi sebuah cerita yang menarik bagiku.
***
Mak, kini aku rinduuuu... sangaaaat rinduuu dengan cerita, masakan dan celoteh Amak ketika aku makan. Kapan aku bisa pulang dan bersujud di kaki Amak, Seandainya saja aku tidak tergoda dengan bujuk rayu Uni Mar, yang membawaku  untuk mengubah nasib untuk menjadi orang kaya dengan rayuan dan cerita menjadi pemilik Bukit Kemilau. Mungkin sekarang aku sedang memandikan kerbau Pakdang Sahar, orang yang paling kaya di kampungku. Sekarang aku mungkin bisa makan singkong bakar masakan Amak, sambil menggigit gula merah agar singkong terasa lebih nikmat. Bagaimana tidak kusesali semua ini, nasi telah menjadi bubur.
Tak terbayangkan bagiku bagaimana kerinduan Amak kepada anak laki-laki satu-satunya ini. Seharusnya akulah yang menggantikan posisi Abak dalam menjaga dan menghidupi Amak, kenyataannya aku pergi meninggalkan Amak dalam kesendirian di masa tuanya di kampung yang dingin. Kini aku harus menjalani hidup ini dalam kepedihan yang tak terperi.
“Maik, Angg anak tungga babeleang nan akan manjago dan menghidupi Amak Angg, alah sapatuiknyolah Waang membaleh jaso dan kasih sayang Amak Aang.”  Kata Uni Mar meyakinkanku.
Barangkeklah ka Bukik Ameh tu, banyak pemuda sebelah kampung awak nan  alah kayo gadang dek karajo di sinan. Itu pertambangan baru, dan sangaik banyak urang awak yang datang untuk mengubah nasib ka sinan. Uni surang alah mambuktikannyo. Barangkeklah, niaikkan untuk membaleh dan membahagiakan Amak Waang,” kata Uni Mar ketika itu.  
Begitu semangatnya Uni Mar mengajakku untuk berangkat merantau ketika itu, aku yang sudah dua tahun tamat STM. Aku sudah merasa nyaman menggarap tanah  parak yang ditinggal Abak untuk kami. Berbagai macam sayuran dan buah aku tanami, kalau sudah panen, Amak akan langsung membawa ke Padang Lua, sebuah pasar grosir sayur-sayuran di seantero daerahku. Namun, setiap pulang kampung, Uni Mar selalu menemuiku lagi dengan gaya dan layaknya seorang sukses di rantau orang. Dengan pakaian dan mobil baru yang selalu gonta ganti setiap pulang. Akhirnya aku luluh juga dengan cerita dan tampilan keluarga Uni Mar.
Dengan susah payah aku meminta izin kepada Amak untuk pergi merantau ke daerah seberang.
“Kan ndak jauh Mak,” kataku ketika itu.
“Amaik hanya ingin mengubah nasib kita, agar tidak dipandang sebelah mata lagi oleh orang kampung ini, lihatlah Uni Mar dan keluarganya, sangat mentereng kalau sudah pulang kampung” ujarku.
“Apakah Amak ingin melihat Amaik ke parak – parak saja setiap hari?”
“Apakah Amak mau, melihat Amaik menjadi bahan ejekan dan dicemeeh oleh kawan-kawan yang sudah lebih dulu maju dari pada Amaik?” kataku dengan menghiba hati.
“Bialah Angg tetap di siko Maik, Amak akan tenang jika kau tetap ada di sini bersama Amak, kalau hanya untuk makan dan kehidupan kita, parak Abak Waang yang di kaki gunung itu sudah cukup untuk kehidupan kita berdua.” Ujar Amak.
“Tapi apakah Amak akan membiarkan aku menjadi bujang lapuak saja di kampuang ini Mak?  Entah kalau Amak ingin melihatku tetap membujang sampai menua nanti. Apakah Amak tidak ingin mempunyai cucu dariku? Tidakkah Amak rindu dengan kicauan suara cucu-cucu Amak di rumah ini Mak?” rayuku tetap meyakinkan Amak.
Amak tiba-tiba tersentak mendengar kata-kataku. melihat keterkejutan Amak, aku bertambah semangat meyakinkan Beliau untuk melepasku pergi merantau. Apakah Amak ingin melihatku menjadi bujang nan tak laku-laku karena tidak bisa mencari kerja yang lebih layak, Amak ingin melihatku seperti Mak Yun yang sudah berkepala lima namun tak berminat jua melihat padusi?” Kataku dengan menghiba-hiba memohon restu dari Amak. Karena bagiku tak ada kehidupan, tanpa restu dari Amak.
Akhirnya, dengan deraian air mata Amak melepasku pergi merantau ke negeri impianku.  Kini 10 tahun berlalu tak ada kabar yang kuberi pada Amak. Entah bagaimana keadaan Amak di kampung. Aku telah menjadi si malin Kundang yang tak pulang-pulang. Bahkan lebih durhaka dari pada si Malin yang masih sempat juga menyilau kampungnya. Walaupun tak mengakui Amaknya. Sementara aku lebih durhaka. Bukan hanya Amak yang tidak aku akui, bahkan adat dan agama pun sudah aku gadaikan. Masih pantaskah aku disebut orang Minang?
Kabar terkahir dua tahun yang lalu, ketika aku ada tugas di ibu kota. Aku bertemu dengan Tek Lela, orang kampung sebelah yang menjual pakaian di pasar Lasi. Sudah maju saja usaha Tek Lela kiranya, sudah membeli langsung ke pusat kota ini.
“Pulanglah Ang Maik, Amak Ang acok bamanuang dan mangecek ka urang di tangah pasa, bahaso Waang alah manjadi urang kayo di rantau urang.”
“Bahaso Waang ka mambaok anak-anak jo bini Ang pulang kakampuangko. kata Tek Lela ketika itu.
“Apo juo nan Waang pikian lai, apo juo nan Waang takuikan pulang ka kampuang, bukannyo waang alah sukses kini di siko”
 “Iyo Tek, tapi Amaik malu untuk pulang kakampung, Baalah caro Amaik ka pulang, samantaro ado nan lain lo nan manjadi baban Amaik untuk pulang. Indak bisa Amaik jalehan di siko Tek Lela” Ujarku.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Amak.
***
Daddy...  Daddy... its summer. It a holiday time.... Lets visit granma. Anak-anakku berlari mengejarku ketika pulang sekolah. Aku memang sudah berjanji akan membawa mereka liburan musim panas ini ke kampung halamanku di kaki gunung Merapi. Walaupun aku tak tahu apakah aku masih akan diterima oleh orang kampungku di kaki gunung itu, terlebih Amak, apakah Amak akan mau menerima aku si anak durhaka yang telah jauh melangkah dari Syariat dan ajaranNya. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk memungkiri janji ini. Istriku pun sudah berkali-kali meminta agar aku menemui Amak di kampung.
Yah, sejak keberangkatanku dari kampung sepuluh tahun yang lalu, aku menemui uni Mar di kota itu. Ternyata Uni Mar membuka kedai di sebuah proyek penambangan emas di sana. Banyak pekerja proyek yang makan dan minum di sana. Tidak salah kalau Uni Mar hidup berkecukupan, dia membuka kedai nasi Padang. Dia menyediakan berbagai makanan dan minuman yang dimasak sendiri dengan cita rasa khas Minangkabau. Ketika Uni Mar memintaku untuk bekerja di kedainya, aku menolak, karena aku ingin pula mencoba menambang emas yang saat itu masih banyak butuh pekerja di sana. Karena ini pertambangan baru yang dibuka oleh orang asing di tanah nenek moyangku ini. Sangat disayangkan kita yang mempunyai alam sekaya ini harus di olah oleh orang asing.
Uni Mar jugalah yang memasukkan aku bekerja di proyek penambangan Emas itu, Beliau sangat banyak membantu di sana. Sampai akhirnya nasib baik berpihak kepadaku. Kepala proyek penambangan emas sedang memonitor proyeknya, hari itu siap hujan lebat dan tanah basah. Ketika dia masuk ke dalam lorong penambangan melihat proses kerja denga gadis remajanya, tiba-tiba tanah di atas longsor. Aku yang ada di sana saat itu, langsung mendorong badan Bapak tersebut dan menarik tangan anak gadisnya, sehingga selamatlah mereka dari tragedi yang hampir merenggut nyawa itu. Ternyata dalam peristiwa itu, banyak merenggut nyawa pekerja, masih untung kami berada di pintu depan lorong, sehingga bisa cepat berlari keluar.
Ternyata kejadian itu sangat membuatnya sangat berterimakasih kepadaku, soerang pemuda kampung yang baik hati ‘katanya’. Mau menyelamatkan orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Anak gadis bulenya pun juga sangat senang denganku, karena bisa menjawab semua pertanyaanya dengan fasih dan lancar dengan bahasanya. Aku memang sangat senang dengan pelajaran yang satu ini, dan sangat sering latihan berbicara dengan guru bahasa Inngris ku di STM dulu. Akupun juga tidak menyangka, kalau kegemaranku ini bisa bermanfaat walaupun aku harus merantau di daerah pelosok yang banyak menyimpan kekayaan emas ini. Singkat cerita tiga tahun kemudian aku menikah dengan gadis bule, anak pemilik perusahaan tambang emas itu. Aku berangkat ke negara istriku Amerika Serikat. Setelah Tuan Albert ayah mertuaku membimbing aku untuk memimpin proyek-proyek perusahaannya yang ada di benerapa negara bagian.
Kini setelah melalui likuan hidup yang telah di atur oleh yang Maha Kuasa, aku sudah enam tahun lebih berada di negeri Paman Sam. Sebuah negara yang dulu saja tidak pernah aku bayangkan dalam benakku.  karena aku hanyalah seorang pemuda kampung yang berasal dari sebuah desa kecil di kaki gunung Merapi. Kini kerinduan akan tanah kelahiranku tak terbendung lagi. Aku sempat terobang ambing dalam kehidupan glamor keluarga istriku yang mewah. Cukup sudah kurasakan Pergaulan negara maju itu telah mengubah cara pandang ku terhadap adat dan agama, sehingga sempat ku tinggalkan dan ku lupakan semua pituah Amak ketika bercerita di masa lalu.
Namun sejak hamil anak kedua, istriku mengalami masalah dengan kehamilannya, sampai satu bulan koma. Aku sangat kalut dan stress, entah kenapa aku kembali ingat dengan pituah Amak. “Maik, jikok Waang ado masalah babaliaklah ka Allah. Dak ado nan bisa manolong awak salain nan di Ateh!” kata Amak ketika itu. Dalam tangis berkepanjangan aku kembali kepadaNya. Padahal sudah bertahun-tahun aku tak pernah lagi bersentuhan dengan sajadah. Dalam kekhusukkanku berdoa, istriku sadar dari komanya. Apa yang dilihatnya persis seperti yang dalam alam bawah sadarnya ketika koma. Katanya, Aku khusuk berdoa di atas sajadah dan menggapai tangannya untuk mengajak ke sebuah desa di kaki gunung yang indah. Aku menangis dan menyesali semua, aku ingat Amak yang telah lama ku tinggalkan. Apakah koma nya istriku ini adalah sebuah isyarat kalau aku harus pulang? Sejak saat itu pula, isriku menjadi mualaf, akupun bertobat, dan kembali bersyahadat, karena aku sadar, banyak aqidah yang sudah ku langgar sejak hidup di negara ini
Kejadian ini, kembali mengingatkan diri ini, kalau aku adalah seorang pemuda  Minangkabau, seorang yang taat beribadah dulunya. Seolah kaca besar kehidupan religius masa kecilku dengan cerita Amak kembali di putar di dalam benakku. Sejak saat itu aku mulai bercerita dengan dua orang putra putriku sebuah kampung kecil di kaki gunung Merapi. Itulah Nagari Lasi asal Daddy nya ini berada. Dimana masih ada Amak, neneknya yang setia menunggu putra dan cucu-cucunya ini ke Ranah Minang. 
Detik itu juga ku panggil mereka “Come on Dear... we go to grandma’s house in the village. It is beautiful village in the mountainside of mount Merapi. And it is called Lasi Village.”

***

2 komentar:

  1. Cerita yang menarik dan penuh pesan moral...mantap buk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 😊😊🤭🤭 jadi malu ibu sani, ni cerpen pertama lo san, mohon kritik dan saran ya 😊🙏

      Hapus